Jamilah

Tetanggaku yang satu ini bernama Jamilah. Tidak seperti lagu yang populer itu, dia bukan janda, dia seorang ibu dengan 3 Putri dan 1 Putra. Yang ku kagumi dari Mila (begitu aku memanggilnya), dia ibu yang hebat. Tak pernah kehabisan baterai sebutanku untuknya. Aku seringkali dibangunkan oleh suaranya yang nyaring yang berteriak di depan rumahnya untuk menyuruh anaknya segera ke sekolah. Suara yang nyaring jadi ciri khasnya.

Menjelang siang harinya, aku juga akan mendengar suara nyaringnya memenuhi seluruh lorong dengan teriakan peringatannya bahwa tukang sayur sudah datang. Hmm,, tipikal ibu-ibu Makassar banget lah! Lain lagi kalau sore sudah menghampiri, teriakannya akan memperingatkan jika truk pengangkut sampah sudah datang. Malam harinya, teriakannya akan bertemakan memanggil anak-anaknya pulang ke rumah untuk segera tidur.

Mila, seorang ibu rumah tangga yang jago masak, turunan dari ibunya yang seorang juru masak saat ada pesta nikahan di kalangan keluarga. Dia orang yang sangat baik, dan terbilang sangat dekat dengan Almarhumah ibuku. Dulu mereka bagai anak dan ibu yang sering nangkring di dapur sambil mencoba resep baru. (Ku akui aku kalah,hahha).

Mila, semenjak ibuku meninggal dia masih tetap sering ke rumah. Mila, semenjak kepergian ibuku selalu menuruti apa yang kuinginkan, entah aku seolah menjadi adiknya. Walau sering kurepotkan dia masih saja tak kehabisan baterai untuk semua kesibukannya.

Batu Mirah Putri Semesta Alam

Senyumnya tak seindah dulu..
Tak lagi sama ketika dulu anaknya masih ada.. Tak lagi sama seperti ketika putrinya masih bekerja.

*****
"Nama saya Mirawati yang artinya Batu Mirah Putri Semesta Alam, nama itu diberikan oleh bapak saya, bapak saya bilang saya harus tahu arti nama saya" itulah kalimat yang sering dia ucapkan. Dia begitu suka dengan nama pemberian orang tuanya itu.

Aku mengenal Mira bisa dibilang sejak saya membuka mata. Dia bahkan mungkin melihat ku lahir . Dia lebih tua 6 tahun dariku, dan Tante Jumariah lebih dulu tinggal di lingkungan rumahku dibanding keluargaku.

Entah ada berapa banyak kenangan masa balita yang kuhabiskan dengannya. Aku sangat yakin dia pasti sering mengajakku bermain ketika aku masih balita. Kenangan pertamaku dengannya yang kuingat adalah ketika aku mulai menginjakkan kaki di Sekolah Dasar. Dengan sangat percaya diri dia memamerkan pada teman-temannya dan teman ku jika aku adalah adiknya.

Aku semakin dekat dengannya saat SMP, ketika bencana kebakaran menghanguskan rumahku. Api masih menyisakan separuh rumah Mira, dan alhasil selama kurang lebih 6 bulan aku tinggal di rumah nya. Kami pun banyak bercerita, curhat, bermain, dan banyak lagi.

Aku pun mulai kuliah, dan bisa dikatakan kampus mengalihkan duniaku. Aku menjadi semakin tertutup dengan lingkungan tetanggaku, tapi itu tak berlaku pada Mira, kami tetap saling bercerita, walau tak seintens dulu, dia pun mulai bekerja jadi semakin jaranglah waktu yang kami punya untuk saling bercerita. Tahun keduaku di kampus kudengar dia sakit. Kata dokter Paru-paruh basah akut. Sejak saat itu dia menjadi tak bisa lepas dari obat, badannya mengurus, seolah hanya tersisa tulang dan kulit. Sangat kurus.

Di kondisi seperti itu, dia masih tetap ingin bekerja. Dia sempat menjadi karyawan pada sebuah supermarket depan rumah kami. Tak lama, sebab dia kembali harus berbaring di rumah sakit. Sesekali kusempatkan menjenguknya. Ternyata, saat ku jenguk dia kedua kalinya, itu adalah perbincangan terakhir kami. Dia bercerita tentang sakitnya, susahnya menelan makanan, dan banyak lagi. sesungguhnya dia tak terdengar mengeluh, dia hanya bercerita tentang apa yang dia rasa. Setelah cerita singkat di rumah sakit itu, selebihnya aku hanya menyapanya dengan senyuman lewat jendela di mana biasa dia duduk mengedarkan pandangannya pada orang-orang yang lalu lalang di lorong rumah kami.

Dan, dipermulaan Mei dia pun menyerah pada penyakitnya. Dia menemui Tuhan lebih dulu. Meninggalkan ibunya, ayahnya dengan sejuta kenangan. Dia telah pergi, mendahului kami.
Kehilangan yang berat melanda Tante Jumariah, ibunya. Putri kesayangannya telah pergi. Dia bercerita tentang saat-saat terakhirnya bersama Mira. Begitu menguras air matanya. Saat putrinya terbaring tak bernyawa di hadapannya, dia begitu tak kuasa, tatapan matanya kosong.
*****

Dua minggu berlalu, tatapan matanya masih saja kosong, masih menyimpan duka yang mendalam. Tak pernah lagi kudengar suaranya yang ceria memuji-muji hasil kerja putrinya yang tercinta itu. Sekarang, lebih banyak kudengar dia berbisik lirih saat bercerita tentang putrinya.

Senyumnya tak lagi seindah dulu...


Belum (Lagi-lagi)

Kali ini kupilih kata belum...
Bukan kata TIDAK...
aku tak mau berpikiran buruk pada NYA..

Yaa Tuhan..maaf jika sabar ini semakin terkikis detik demi detik.. Aku (lagi-lagi) berprasangka buruk padaMU, dan dia (seperti biasa) senantiasa berprasangka baik. Kami memang begitu berbeda.

Tuhan, sungguh aku heran dengan keputusan-keputusan yang terjadi. Dan jujur Tuhan, Engkau pasti Maha Tahu, jika aku kecewa. Sementara dia Tuhan,,dia baik-baik saja.. Tak sedikitpun raut kecewa kutangkap dari matanya.. Dia begitu ikhlas dengan segala keputusan-keputusan yang terjadi padanya. Sungguh teramat kukagumi itu dari dia.

Tuhan, apa yang kurang padanya? Apa yang menyebabkan dia belum Engkau bukakan jalan? Atau memang jalan untuknya ada di pulau seberang?

Tuhan...kuatkan Aku, karena aku yakin dia sudah sangat kuat dalam hidup ini. Air mata ini menjadi yang paling pertama mengacungkan tangannya untuk unjuk gigi.. Tak bisa kutahan Tuhan, Tak bisa kubendung, dia mengalir begitu saja.

Lagi-lagi Belum ada dua baris nama yang senantiasa kusebut, bahkan tak putus.. Di mana Engkau titipkan izinMU itu untuknya Tuhan? Aku sudah tak sabar ingin segera tau.. Tapi, jika itu masih rahasiaMU, aku mengikut saja wahai Engkau Yang Maha Menguasai...

Ini masih "belum" kan Tuhan, bukan "Tidak", karena aku yakin, Engkau Mencintainya dan akan memberi yang terbaik untuknya...
dan aku hanya bisa berdoa dan berucap "amin" di setiap akhir doa ku...