Batu Mirah Putri Semesta Alam

Senyumnya tak seindah dulu..
Tak lagi sama ketika dulu anaknya masih ada.. Tak lagi sama seperti ketika putrinya masih bekerja.

*****
"Nama saya Mirawati yang artinya Batu Mirah Putri Semesta Alam, nama itu diberikan oleh bapak saya, bapak saya bilang saya harus tahu arti nama saya" itulah kalimat yang sering dia ucapkan. Dia begitu suka dengan nama pemberian orang tuanya itu.

Aku mengenal Mira bisa dibilang sejak saya membuka mata. Dia bahkan mungkin melihat ku lahir . Dia lebih tua 6 tahun dariku, dan Tante Jumariah lebih dulu tinggal di lingkungan rumahku dibanding keluargaku.

Entah ada berapa banyak kenangan masa balita yang kuhabiskan dengannya. Aku sangat yakin dia pasti sering mengajakku bermain ketika aku masih balita. Kenangan pertamaku dengannya yang kuingat adalah ketika aku mulai menginjakkan kaki di Sekolah Dasar. Dengan sangat percaya diri dia memamerkan pada teman-temannya dan teman ku jika aku adalah adiknya.

Aku semakin dekat dengannya saat SMP, ketika bencana kebakaran menghanguskan rumahku. Api masih menyisakan separuh rumah Mira, dan alhasil selama kurang lebih 6 bulan aku tinggal di rumah nya. Kami pun banyak bercerita, curhat, bermain, dan banyak lagi.

Aku pun mulai kuliah, dan bisa dikatakan kampus mengalihkan duniaku. Aku menjadi semakin tertutup dengan lingkungan tetanggaku, tapi itu tak berlaku pada Mira, kami tetap saling bercerita, walau tak seintens dulu, dia pun mulai bekerja jadi semakin jaranglah waktu yang kami punya untuk saling bercerita. Tahun keduaku di kampus kudengar dia sakit. Kata dokter Paru-paruh basah akut. Sejak saat itu dia menjadi tak bisa lepas dari obat, badannya mengurus, seolah hanya tersisa tulang dan kulit. Sangat kurus.

Di kondisi seperti itu, dia masih tetap ingin bekerja. Dia sempat menjadi karyawan pada sebuah supermarket depan rumah kami. Tak lama, sebab dia kembali harus berbaring di rumah sakit. Sesekali kusempatkan menjenguknya. Ternyata, saat ku jenguk dia kedua kalinya, itu adalah perbincangan terakhir kami. Dia bercerita tentang sakitnya, susahnya menelan makanan, dan banyak lagi. sesungguhnya dia tak terdengar mengeluh, dia hanya bercerita tentang apa yang dia rasa. Setelah cerita singkat di rumah sakit itu, selebihnya aku hanya menyapanya dengan senyuman lewat jendela di mana biasa dia duduk mengedarkan pandangannya pada orang-orang yang lalu lalang di lorong rumah kami.

Dan, dipermulaan Mei dia pun menyerah pada penyakitnya. Dia menemui Tuhan lebih dulu. Meninggalkan ibunya, ayahnya dengan sejuta kenangan. Dia telah pergi, mendahului kami.
Kehilangan yang berat melanda Tante Jumariah, ibunya. Putri kesayangannya telah pergi. Dia bercerita tentang saat-saat terakhirnya bersama Mira. Begitu menguras air matanya. Saat putrinya terbaring tak bernyawa di hadapannya, dia begitu tak kuasa, tatapan matanya kosong.
*****

Dua minggu berlalu, tatapan matanya masih saja kosong, masih menyimpan duka yang mendalam. Tak pernah lagi kudengar suaranya yang ceria memuji-muji hasil kerja putrinya yang tercinta itu. Sekarang, lebih banyak kudengar dia berbisik lirih saat bercerita tentang putrinya.

Senyumnya tak lagi seindah dulu...


0 komentar:

Posting Komentar